Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa barat.
PANDEMI Covid 19 yang berlangsung nyaris dua tahun adalah ujian sesungguhnya apakah para pejabat politik baik eksekutif maupun legislatif pengemban amanat suara rakyat benar benar hadir sebagai “politisi” atau hanya “tukang politik”. Istilah “tukang politik” mengingatkan penulis pada istilah “tukang insyiur” dalam sinetron “si doel anak sekolahan” tahun1990 an, tentu secara teoritis “tukang politik” tidak ditemukan dalam khazanah ilmu politik kecuali sedikit dapat ditarik maknanya dari perspektif Jefrey Winters tentang “A political oligarchy”.
Dalam perspektif Jefry Winters di atas “tukang politik” sepadan maknanya dengan “dealer politik”, yakni pedagang politik di mana aktivitas politiknya nyaris hanya berkait dengan “cash flow” untung rugi secara finansial dan tukar tambah secara elektoral politik. Sementara di sisi lain “politisi” adalah seorang “leader”, pemimpin, pengemban amanat suara rakyat. Dalam konteks ini Agus Salim, politisi dan intelektual di era awal kemerdekaan RI memaknai bahwa pemimpin politik adalah “ledjen is ledien”, sebuah panggilan hidup di “jalan menderita”.
IItulah bedanya antara “tukang politik” dan “politisi”. Antara “dealer” dan “leader”, Lebih jauh dalam perspektif “oligarkhi politik” Jefry Winters di atas “tukang politik” adalah pejabat eksekutif dan legislatif di segala level lebih senang bekerja teknis dengan tampilan “cricy rich”, ibarat orang super kaya senang bagi bagi sembako dan amplop di ruang publik dengan sorot karema yang diupload di media sosial. Berbeda dengan orientasi kerja politisi sebagai pemimpin politik lebih bergulat pada desain hulu kebijakan dengan segala timbangan resiko politik nya demi proteksi maslahat publik di atas untung rugi finansial, personal dan golongan.
Pilihan eksekutif yang diback up total legislatif “menghindar” dari Undang Undang no. 6 tahun 2018 tentang “karantina kesehatan” dengan mandat kewenangan dan kewajiban yang jelas dan terukur dalam merespons penanganan pandemi covid 19 lalu berputar putar dengan istilah istilah baru mulai PSBB, PSBB transisi, PPKM mikro, PPKM darurat dan terakhir PPKM level1-4 hanya disandarkan pada surat edaran Mendagri yang bukan sumber hukum dalam hirarkhi sistem hukum di Indonesia dapat dibaca secara indikatif kualitas kepemimpinan politiknya apakah masuk dalam kategori “dealer politik” atau “leader politik”
Di hulu pilihan policy inilah sumber kerumitan penanganan “hilirisasi” pandemi covid 19 dan dampak dampak turunannya begitu lama menindih rakyat. Kebijakan PPKM “darurat” misalnya hanya dimaknai bahwa pemerintah sebagai representasi negara memiliki kewenangan “hak paksa” untuk membatasi mobilitas sosial.dan transaksi ekonomi rakyat atas nama pencecahan wabah covid 19. Perut lapar rakyat tidak dipandang “darurat” lebih dimaknai konsekuensi dari kebijakan PPKM darurat. Rakyat berdagang harus di razia, dikejar, dipukuli dan bahkan di denda. Inilah akibat pejabat hadir tanpa kritik dan selalu mengancam.
Kini meskipun agak terlambat saat rakyat mulai lelah lahir batin akibat dampak covid 19 secara sosial dan ekonomi dan lonjakan “booming” covid 19 menjadikan Indonesia salah satu epicentrum pandemi di dunia tersisa sedikit pilihan bagi para pejabat politik baik di posisi eksekutif maupun legislatif untuk mengatasi pandemi covid 19 dengan hadir benar benar sebagai “politisi”, pemimpin politik di jalan menderita, penuntun jalan keteladaan dan harapan bagi ralyatnya. Di sini lah titik ujian yang sesungguhnya untuk membedakan mana “dealer” dan “leader” politik.
Selamat bekerja, semoga bagai covid 19 segera berlalu.
Wassalam. (*)