Oleh ; Yayat Rohayati
Member Komunitas Kelas
Menulis Muslimah
Cemerlang
Pemberitaan mengenai kekerasan muncul seolah tak terjeda. Setiap hari ada saja berita kasus kekerasan. Mirisnya, pelaku kekerasan adalah orang-orang terdekat dengan korban seperti paman, suami/istri, teman atau rekan kerja.
Baru-baru ini, dikutip dari harian Tribunnews.com 24 Oktober 2022, di Sulawesi Selatan seorang bayi berusia 4 bulan dianiaya dengan cara dibanting ke lantai hingga meninggal.
Mirisnya pelaku penganiayaan ternyata pamannya sendiri. Diduga penganiayaan dipicu oleh pertengkaran hebat antara ibu korban dengan pelaku.
Kemudian, di Sumatera Utara sepasang suami istri diduga cekcok dan berakhir tewasnya sang istri dengan bersimbah darah di pinggir jalan Mandala by pass, Medan sekitar pukul 23.00 wib (tvOnenews.com, 23 Oktober 2022).
Insiden di atas hanya sebagian kasus kekerasan yang terjadi di negeri ini. Fakta di lapangan masih banyak kasus kekerasan lainnya yang tak terekspos media. Ketakutan pun menyelimuti masyarakat, sebab melihat kasus di atas pelakunya merupakan keluarga bahkan teman hidup.
Seharusnya negara menjamin rasa aman terhadap masyarakat. Hal ini menggambarkan bahwa negara telah gagal memberikan keamanan kepada masyarakat.
Sebenarnya ada beberapa faktor yang mendorong seseorang berbuat kekerasan, diantaranya faktor individu yang telah teracuni oleh pemikiran sekularisme liberal. Mereka memahami manusia bebas berbuat tanpa aturan pencipta, karena sekularisme memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga ketika menghadapi masalah, mereka mengambil jalan sesukanya tanpa memikirkan perbuatan itu baik atau buruk dimata Allah. Standar perbuatan mereka adalah jika mendatangkan kebahagiaan dan materi maka itu baik dan sebaliknya.
Kondisi perekonomian yang semakin menghimpit, ditambah sulitnya lapangan pekerjaan telah melahirkan kemiskinan yang sistemik. Akhirnya segala cara dilakukan guna mempertahankan hidup. Negara yang seharusnya menjamin kesejahteraan warganya, hanya mampu membuat kebijakan-kebijakan baru yang faktanya banyak berpihak kepada kepentingan segelintir orang, bukan untuk rakyat.
Berbeda dengan Islam, dalam Islam negara adalah yang bertanggungjawab menjamin kesejahteraan rakyat, mulai dari kebutuhan pokok sampai pada kebutuhan dasar lainnya. Negara menyediakan lapangan pekerjaan sehingga para suami dapat menunaikan kewajibannya. Sehingga tak ada kekerasan dalam rumah tangga yang diakibatkan kondisi ekonomi.
Rosullallah Saw. bersabda:
“Pemimpin adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan rakyat dan bertanggungjawab atas rakyat yang diurusnya” (HR. Muslim).
Untuk membentuk individu yang bertakwa, negara memberikan pendidikan dengan berbasis akidah Islam. Hal ini menjadikan setiap individu, masyarakat bahkan negara senantiasa terikat pada hukum syara. Sehingga bisa meminimalisir kasus kekerasan dalam kehidupan, sebab mereka meyakini semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt.
Allah Swt. berfirman, yang artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra:36).
Selain itu negara juga akan memberikan hukuman yang tegas kepada pelaku kekerasan. Hukuman dalam sistem Islam bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa).
Ketika syar’iat Islam dilaksanakan secara keseluruhan dalam segala aspek kehidupan, maka jiwa, akal, akidah, harta dan kehormatan akan terjaga. Semua itu akan didapatkan dalam negara yang menerapkan sistem Islam dalam bingkai daulah Islamiyyah.
Wallahu’alam. (*)